Maria Lumowa, Wani Piro?
![]() |
Maria Lumowa. Foto: Sindo |
Pertanyaan
itu, pastinya akrab dengan Maria Pauline Lumowa (62). Buron 17 tahun, pembobol
BNI Rp 1,7 triliun, ‘dikeler’ ke Indonesia dari Serbia, Kamis (9/7/2020)
kemarin.
Sebab, Maria
diduga ‘pemain’. Dia tersangka pembobolan Rp 1,7 triliun sejak Oktober 2003.
Artinya, dia (diduga) mencuri uang BNI sebanyak itu.
Perjalanan
kasus ini panjang. Perhatikan urutan waktu:
Oktober 2002
Maria
mengajukan kredit ke BNI. Cair total Rp 1,7 triliun.
Juni 2003
BNI tahu,
bahwa jaminan kredit Maria, L/C (Letter of Credit) fiktif. Lantas BNI lapor
polisi.
September
2003
Maria kabur
ke Singapura.
Oktober 2003
Mabes Polri
menetapkan, Maria tersangka. Sehingga Maria buron.
16 Juli 2019
Maria
ditangkap Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia. Dia
ditahan di sana. Masa tahanan setahun. Mestinya habis, dan Maria bebas, 17 Juli
2020 (sepekan lagi).
9 Juli 2020
Maria
‘dikeler’ pulang ke Jakarta. Dimasukkan tahanan Mabes Polri.
Selama 17
tahun itu, pastinya Maria sangat sering mendengar pertanyaan “Wani piro?”
Bank
pemerintah BNI, tidak mungkin dibobol orang luar BNI. Pasti. Kalau mungkin,
habis-lah BNI. Kepercayaan publik, pondasi semua bank.
“Wani piro’ ke
Maria, datang dari oknum BNI.
Terbukti, Edi
Santosa (mantan Kepala Bidang Pelayanan Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru) dan
Kusadiyuwono (mantan Kacab BNI Kebayoran Baru) ditangkap polisi, 5 November
2003.
Edi divonis
penjara seumur hidup, Kusadiyuwono 16 tahun penjara.
Tapi, Rp 1,7
triliun itu cukup banyak, lho. Pastinya banyak yang terlibat.
Kini,
setelah Maria dibui, dia bisa menggigit. Bagai ular yang terjepit.
Posisi bisa berbalik.
Ganti, Maria yang bakal bertanya ke mereka: “Wani piro?”
BACA JUGA: Maria Lumowa dan Dua Kalimat
Kata ‘wani piro’
lahir dari proses budaya. Berakar. Melalui perilaku yang berulang-ulang. Lama.
Kemudian jadi
kebiasaan. Akhirnya jadi budaya.
Orang dewasa
menyuruh anak kecil membeli rokok. Kemudian, si anak diberi tip.
Di hari
berikut, orang tersebut memberi perintah yang sama, kepada anak yang sama. Kali
ini tanpa tip. Sengaja.
Si anak
menunggu, berharap ‘siapa tau lupa’.
Ternyata
memang tidak ada tip. Si anak menggerutu. Inilah tahap awal, sebelum sampai ke
‘wani piro’.
Hari berikut
lagi, si dewasa memberi perintah yang sama, pada anak yang sama. Maka, anak itu
berani menantang:
“Wani piro?”
Pada
kehidupan orang dewasa, sama saja. Di hampir semua hotel, budaya tip sudah
biasa.
Ada beberapa
hotel, termasuk di Indonesia, yang mengimbau tamu tidak memberi tip. Kepada
doorman, room service, dan semua petugas hotel. Imbauan itu dipampang di
dinding.
Tapi, jika
tamu rela memberi, ujiannya pada petugas hotel.
Sebaliknya,
pihak manajemen hotel memberi sanksi tegas kepada petugas penerima tip.
Paling
tidak, karyawan hotel tidak mungkin menggerutu. Sebab, aturan sudah dipampang.
Sehingga tidak sampai tahap ‘wani piro’. Sudah ditumpas di hulu.
Selain
hotel, ada:
Mengurus
akte kelahiran, KTP, SIM, STNK, Tilang, paspor, surat pindah, izin tinggal
orang asing, mendirikan usaha, kredit, puluhan jenis urusan, sampai surat
kematian, izin pemakaman.
Dari manusia
lahir, sampai mati. Wani piro?
Di sinilah
Indonesia sangat parah. Sampai kata ‘wani piro’ jadi jargon iklan. Lantas
ditertawakan. Seolah itu hal biasa. Karena sudah mengakar.
Walaupun,
harus diakui, beberapa tahun belakangan ada niat sangat kuat pemerintah
memberantas ‘wani piro’.
Bukan hanya
niat. Di beberapa layanan publik, sudah bersih ‘wani piro’.
Tapi, belum
cukup bersih. Belum setingkat Singapura. Paling tidak, Malaysia.
Pertanyaan,
bagaimana memberantas wani piro?
Sudah
dijawab banyak pakar. Dengan banyak teori. Sejak puluhan tahun lalu. Sebagian
teori sudah dijalankan. Sebagian belum.
Aku
khawatir, pakarnya atau pelaksananya, juga bertanya wani piro? (*)
Jakarta, 10 Juli 2020
Tidak ada komentar