Bandit Muda, Kebo Gupak Ajak-ajak
![]() |
Para pelaku. Foto: Radar Surabaya |
Nino Defrin (18).
Iman Firdaus (21). Aris Setiawan (20). Fahmi Atamimi (20). Ardiansyah (22). Para penjambret yang
dipamerkan di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (10/7/2020).
BACA JUGA; Bandit Muda, Bandot Tua
Aku fokus ke
usia mereka. Remaja (versi badan
kesehatan dunia WHO, batasan remaja usia 12 – 24). Mestinya sekolah-kuliah.
Mundur,
Jumat 3 Juli 2020, para penjambret tertangkap di Surabaya, adalah:
Chaidir Ali
(19). NA (17). Fathor Rosi (21). Sahrullah (20). Satu lagi buron inisial AJ
(19).
Dari 4
tertangkap, 3 ditembak kaki (kecuali NA usia 17) oleh polisi karena melawan.
Menyimak
deretan usia mereka, aku prihatin. Apalagi, orang tua mereka. Pastinya sedih.
Malu.
Tapi,
tindakan mereka kejam. Mereka semua bermotor memburu mangsa. Bagai instink
hewan predator, mereka memburu yang lemah: Wanita.
Begitu
mereka melihat kesempatan: Tas, perhiasan di leher, atau telinga, ponsel di
kantong, atau apapun, maka langsung dibetot. Tancap gas. Kabur.
Bisa
dibayangkan, korban tersentak. Sebagian korban jatuh. Terjerembab ke aspal. Di
Jakarta, korban semacam itu, tewas dengan kepala pecah, membentur trotoar.
Kejahatan
mereka patut ditindak tegas. Didor polisi. Harus tega. Biar ada efek jera.
Tapi, apakah
itu solusi? Bukankah, mereka generasi muda penerus perjuangan bangsa?
BACA JUGA: Vicky Prasetyo, Ludruk Garingan
Peribahasa
Jawa itu artinya: Kerbau belepotan lumpur, menggesek-gesekkan badan ke kawannya
(supaya ikut belepotan).
Kriminolog
terkemuka Amerika, Edwin H. Sutherland, dalam bukunya Principles of Criminology,
menjelaskan teori semacam ‘Kebo Gupak’.
Sutherland
menyebutnya: Differential Association Theory (Teori Asosiasi Diferensial).
Proses
lahirnya teori itu, begini: Systematic criminal behavior theory. Berlanjut ke culture
conflict. Lanjut ke social disorganization. Akhirnya, differential association
theory.
Gak usah
kebanyakan ‘mbulet’, teori itu intinya begini:
Perilaku
jahat seseorang, bukan keturunan. Melainkan dari proses belajar.
Sampai di
sini, para orang tua remaja yang ditembak polisi di atas, sebaiknya jangan
malu. Walaupun, jelas Anda bertanggung-jawab terhadap ulah anak-anak Anda yang
bisa mematikan korban kejahatannya.
Sutherland
menyampaikan 9 poin, tapi diringkas jadi 7, begini:
1.
Perilaku
jahat hasil belajar. Bukan dari genetik.
2.
Belajarnya,
interaksi intensif, langsung-tak langsung.
3.
Dalam
kelompok intim (akrab). Jika ayahnya penjahat, pasti nular.
4.
Calon
penjahat memang butuh hasil kejahatan. Miskin.
5.
Sistem
nilai benar-salah. Menjambret, dianggap tak terlalu salah.
6.
Belajar
teknik kejahatan. Pasti, di kelompok itu ada penjahat.
7.
Memperkirakan
hukuman. Paling, dibui 3 – 6 bulan.
Secara
ringkas, peribahasa Jawa, ‘Kebo Gupak Ajak-ajak’ ada masuknya dengan teori
kriminologi yang jadi panutan penegak hukum Amerika itu.
Tidak sama
persis, tapi ‘ada masuknya’.
Di nomor tiga,
intinya: Bergaul. Anak-anak dan remaja pasti aktif bergaul. Mustahil dikekang.
Di nomor
enam, di situlah ada ‘kebo gupak’. Dan, kebo ini berusaha mencari teman supaya
jadi geng penjahat. Supaya tugas dia jadi lebih ringan. Hasilnya banyak.
Dengan motif
itu, si kebo pastinya mencari kerumunan (kelompok). Menjalin keakraban
intensif. Sutherland menyebutnya: Kelompok intim.
Di nomor
tujuh, sangat rumit. Vonis hakim pada kasus-kasus kejahatan dengan pelaku
remaja, jadi dilematis. Kebijakan hakim begini:
Kalau
penjahatnya dihukum berat, kasihan masa depannya. Jika dihukum ringan,
tengoklah teori Sutherland itu.
Apalagi,
penjahat dengan usia 17 ke bawah, ada yang dimasukkan panti anak-anak
bermasalah. Sangat ringan.
Walaupun,
sudah ada patokan tentang lama hukuman di KUHP, yang maksimal 12 bulan.
Toh, hukuman
setahun bisa dianggap ringan oleh penjahat dan calon penjahat yang terhimpun di
suatu kelompok pergaulan remaja.
Tulisan ini
tidak menggurui, harus bagaimana menghentikan re-generasi penjambret ini. Tidak
perlu digurui.
Sebab, Anda
pasti tahu, akan berbuat apa untuk generasi muda penerus bangsa. (*)
Jakarta, 11 Juli 2020
Tidak ada komentar